Ibnu Khaldun, salah seorang filosof Islam klasik, dalam bukunya yang terkenal, Muqaddimah, membahas satu bab khusus soal pengaruh makanan terhadap karakter manusia. Juga terhadap ketahanan tubuh, kecerdasan bahkan terhadap persoalan agama dan ibadah.
Bahwa makanan yang berlebih-lebihan dan pencampuradukan makanan yang terlalu banyak, makanan yang rusak dan basah yang tidak dapat dicernakan dengan baik di dalam perut dan meninggalkan endapan-endapan yang berbahaya yang menyebabkan gemuk, menutupi kulit dan mengubah bentuk badan. Uap yang buruk yang ditimbulkan makanan itu kemudian naik ke otak dan menutupi proses pemikiran yang menyebabkan kedunguan, masa bodoh dan kurang sabar.
(Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Pustaka Firdaus, Cetakan keenam: April 2006. Hal.102)
Orang-orang badui yang hidup sederhana, dan orang-orang kota yang hidup berlapar-lapar serta meninggalkan makanan yang mewah-mewah, mereka lebih baik dalam beragama dan dalam beribadah dibandingkan dengan orang-orang yang hidup mewah dan berlebih-lebihan.
(Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Pustaka Firdaus, Cetakan keenam: April 2006. Hal.103)
Belakangan ini, saya banyak diingatkan soal makanan. Di tengah zaman wisata kuliner seperti sekarang, saya justru sedang merasa takut dengan efek jangka panjang makanan. Entah kekurangan asupan makanan bergizi, atau terlalu banyak makan yang tidak bergizi. Dua-duanya bukan pilihan yang bagus. Akan tetapi untuk sekedar memberi nutrisi yang baik bagi tubuh pun bukan masalah yang mudah, meskipun tidak terlalu sulit. Hanya perlu sedikit disiplin.
Masalahnya ada di selera makanan. Saya termasuk yang paling parah dalam hal selera makanan. Tidak suka susu, tidak suka daging merah (sapi, kambing, dll), kurang minum air putih, jarang makan sayuran, dan sedikit makan buah. Paling banyak makanan yang digoreng. Sementara, minyak yang dipanaskan adalah salah satu sumber kolesterol. Sementara nilai gizi dalam makanan yang digoreng, bisa dipastikan berkurang akibat panas minyak goreng. Maka, sangat dimungkinkan terjadi penumpukan kolesterol dalam darah saya. Ditambah kegiatan olahraga sudah semakin berkurang intensitasnya. Inginnya melakukan cek kesehatan, tapi belum sempat – atau lebih tepatnya belum menyempatkan diri.
Tidak sedikit yang menyadari bahwa pola makan dan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh sangat tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, saya masih lebih memilih makanan yang saya sukai daripada yang tubuh saya butuhkan, meski saya tahu makanan tersebut tidak memiliki nilai gizi sama sekali. Dan tidak sedikit juga yang menyadari efek dari terlalu banyak makan di masa depan.
Ayah saya adalah contoh yang baik mengenai makanan, meski beliau tidak menerapkan soal pola makan sehat dan bukan contoh yang paling baik juga. Sampai saat ini satu-satunya penyakit yang sering dideritanya ‘hanya’ sakit kepala. Sesekali terkena flu juga. Itu pun jika beliau terlalu lelah saja. Selebihnya, saya tidak mendapati adanya ancaman dari penyakit-penyakit serius semacam stroke, ginjal atau
jantung. Bahkan, di usianya yang ke-54, dalam laporan medical check-up yang belum lama ini dilakukan, hasilnya dinyatakan normal hampir di seluruh organ tubuhnya. Kecuali bahwa terdapat kelebihan kolesterol di dalam darah. Dipastikan makanan yang digoreng adalah penyebabnya.
Seperti halnya saya, ayah saya tidak terlalu berminat untuk menyicipi jenis-jenis makanan yang asing bagi lidahnya. Bedanya dengan saya, saya terlalu pilih-pilih soal makanan, sementara ayah saya cenderung apa adanya. Apa yang ada di meja makan, itu yang dimakan. Tidak pernah sekalipun saya mendengar ayah saya protes soal makanan kepada ibu saya, apalagi sampai marah-marah. Seleranya juga memang sederhana, yang penting nikmat. Itulah sebabnya, jika melakukan perjalanan ke kota-kota baru yang dikunjungi, saya tidak terlalu tertarik untuk menyicipi makanan khas kota tersebut. Kecuali kalau saya yakin makanan tersebut akan masuk ke perut saya. Begitu juga ayah saya.
Ayah saya juga cenderung mengalah kepada keluarganya soal makanan. Tidak jarang, ketika yang lain makan ayam goreng, beliau hanya makan tempe goreng karena jatahnya diberikan untuk anak-anaknya. Bahkan jika ditraktir makan di restoran yang cukup mahal pun, makanan yang beliau pilih adalah yang sederhana. Berbeda dengan kakaknya. Kakak ayah saya termasuk seorang ‘penjelajah’ makanan. Tidak ada pantangan dalam hal makanan. Dari daun-daunan sampai daging-dagingan. Hampir segala jenis masakan di sebagian wilayah Indonesia dicicipinya. Makanya, paman saya itu gemuk, sementara ayah saya kurus.
Akan tetapi, ketika mereka berdua diperiksa oleh ahli pengobatan alternatif, hasilnya cukup mencengangkan. Ayah saya dinyatakan normal, sementara saraf-saraf dalam tubuh paman saya dinyatakan banyak yang sudah ‘mati’. Itu pun setelah sebelumnya terkena stroke. Menurut sang ahli tersebut, penyebabnya adalah makanan. Dan yang paling menggelikan, paman saya dilarang untuk makan lagi makanan kesukaannya. Dulu, paman saya sering ‘meledek’ ayah saya terkait makanan, sekarang paman saya mengakui bahwa apa yang ayah saya lakukan ternyata ‘benar’.
Pengalaman lain adalah dari salah seorang guru saya yang belum lama ini terkapar selama 2 bulan akibat penyakit asam urat. Beliau juga mengingatkan agar berhati-hati soal makanan jika tidak ingin mengalami hal yang serupa. “Kita tahunya makanan tersebut enak dan dimakan banyak-banyak, tapi kita tidak tahu prosesnya seperti apa, isinya apa saja.“, sembari menyebut jenis-jenis makanan ‘favorit’ seperti bakso dan makanan-makanan yang terlalu pedas sebagai penyebab penyakit tersebut.
Dari sisi Islam, selain gizinya, tentu saja kehalalannya wajib menjadi perhatian. Jika seorang Abu Bakar ra sampai memuntahkan kembali makanan yang diketahuinya haram, maka umat Islam saat ini setidaknya wajib waspada terhadap makanan yang akan disantapnya. Ada ‘kaidah’ yang sudah lumrah di masyarakat, (seolah-olah) tidak mengapa menyantap makanan yang haram selama tidak mengetahui. Pertanyaannya sekarang, apakah kita berusaha untuk mencari tahu soal kehalalan makanan tersebut? Sayangnya, hal ini jarang sekali dilakukan. Padahal, yang semestinya dilakukan adalah mencari tahu dulu sebelum makanan tersebut masuk ke dalam tubuh. Hanya saja, kalau seperti itu, kapan makannya ya? 😀 Setidaknya, sisakan sedikit ruang ‘waspada’ dalam diri kita jika akan memakan sesuatu. Bahkan jika makanan tersebut pun sudah dinyatakan halal.
Menurut saya, itulah sebabnya mengapa bisa terjadi praktek-praktek ilegal dalam perdagangan makanan di Indonesia. Misalnya, ayam tiren, sapi glonggongan, kasus borax, dll. Hal ini disebabkan kurang kritisnya kita terhadap kehalalan makanan sehari-hari.
Terakhir, tentu saja dari cara kita mendapatkan makanan tersebut. Dengan cara haram atau cara halal? Oleh sebab itu, makanan yang kita beli dari uang hasil korupsi hanya akan menjadi ‘penyakit’. Meskipun perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam lagi, tapi sering juga saya mendengar kalau orang-orang yang sudah diketahui umum melakukan praktik korupsi, biasanya terkena stroke atau sakit parah (komplikasi) di hari tuanya. Akan tetapi, sekali lagi, hal tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut, sebab yang jujur pun banyak juga yang terkena stroke.
Dalam Islam ada konsep “halalan thoyyiban“. Arti sederhananya, halal serta baik. Makanan halal akan berdampak terhadap sisi psikologis seseorang, sehingga ruhaninya menjadi sehat. Sementara makanan yang baik gizi dan keadaannya, akan berdampak pada fisik seseorang, sehingga jasmaninya yang menjadi sehat.
Maka, atas dasar itulah saya berniat untuk memperbaiki pola makan dan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh saya. Masalahnya, ya… itu … makanan yang dibutuhkan tubuh saya justru merupakan makanan yang sebagian besar masuk kategori ‘tidak enak’ dalam kamus hidup saya selama ini. Selain itu, tentu saja, mulai lebih memperhatikan kehalalan makanan tersebut, entah zatnya, atau pun cara mendapatkannya. Daripada nanti di hari tua terancam sakit-sakitan, ‘ditunggu’ neraka pula. Apes.