Tingkah laku para pembuat virus komputer, saya anggap, terwakili oleh virus yang dibuatnya.  Di dunia komputer, ia menjadi virus, di dunia nyata sang pembuat virus tidak akan berbeda jauh, ia adalah virus itu sendiri.  Perusuh, pembuat onar, pengacau, egois.  Karenanya dia menjadi ‘makhluk’ paling dibenci oleh setiap orang.

Mungkin saya terlalu ‘pukul rata’.  Bisa jadi sang pembuat virus sesungguhnya adalah seorang yang jenius, tapi jelas dia tidak memiliki kehidupan sosial yang baik.  Dan biasanya, dia adalah seorang psikopat. Meskipun, bagi saya, seorang jenius beda tipis dengan seorang idiot ketika kejeniusannya tidak digunakan dengan baik.  Dia tidak mendapatkan apa pun dari kejeniusannya, selain caci maki, sumpah serapah dan berbagai macam kutukan lainnya.  Ya, paling hanya semacam kepuasan ketika virus yang dibuatnya kemudian menyebar dan berhasil membuat pusing ribuan atau bahkan jutaan orang.  Akan tetapi, hanya sebatas itu saja, tidak membuktikan bahwa sang pembuat virus memang orang pintar.  Dia tetaplah dikenal -kalau kemudian terkenal- sebagai perusuh.  Tidak lebih.

Di Indonesia, saya mendapati para pembuat virus hanya sekumpulan orang-orang frustasi dan kekanak-kanakan, dan memang sebagiannya adalah para ABG pencari jati diri.  Biasanya karena patah hati, entah ditolak, entah diputuskan, atau bahkan cinta tak berbalas.  Kita bisa mendapati itu semua dari pesan-pesan yang mereka sampaikan. Dan entah kenapa mereka merasa sebagai orang-orang yang paling menderita.  Sebuah pertanda bahwa mereka tidak memiliki kehidupan sosial yang cukup baik, atau tidak memiliki kepekaan sosial sama sekali … dan jelas, sangat kekanak-kanakan, plus egois.

Beberapa pesan dalam virus terkadang hanya mencantumkan nickname sang pembuat virus.  Identitasnya tidak ingin diketahui.  Ciri khas penjahat …atau banci.  Ah, tapi seorang banci sekalipun masih bisa kita ketahui nama aslinya.  Bandingkan saja dengan ‘jagoan’ di dunia maya, entah itu di dunia programming, networking atau designing.  Mereka bangga dengan namanya.  Sebab namanya sendiri sudah mewakili citra dari orang tersebut.  Hal ini disebabkan karena mereka merasa sudah melakukan hal yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak.

Seorang hacker sejati, misalnya, justru adalah seorang yang sangat rendah hati.  Ilmu dan pengetahuannya tentang jaringan komputer sangat tinggi, tapi tidak sedikitpun dia merasa perlu untuk melakukan show off seperti orang-orang yang mengaku hacker atau ingin disebut hacker.  Ketika seorang yang mengaku hacker berbicara tentang bagaimana menjebol keamanan jaringan komputer, seorang hacker sejati berbicara tentang bagaimana mencegah agar keamanan jaringan tidak jebol.  Apa yang dibahas sama saja sebetulnya, tapi ‘judul’-nya berbeda.  Yang satu berbicara tentang “merusak”, satunya lagi berbicara tentang “menjaga”.

Sungguh sangat disayangkan ketika kemampuan untuk berkarya digunakan untuk merusak.  Padahal, dengan kemampuan yang sama, saya yakin seorang pembuat virus bisa membuat program yang lebih bermanfaat.  Sehingga, khazanah dunia telematika di Indonesia bisa semakin kaya.  Bukan oleh hal-hal yang merusak, tapi bermanfaat.  Sampai saat ini, kita masih menanti kemunculan ‘pengganti’ Microsoft Windows, SAP, Oracle, atau UNIX yang berasal dari Indonesia.  Mungkinkah? 🙂

loading...