Sebuah kesalahan, betapa pun kecilnya, akan menjadi besar tingkat mudharat nya apabila dibiarkan oleh orang-orang yang mengetahui kebenaran, tapi mendiamkannya, menolerir atau bahkan menyetujuinya. Pada akhirnya, kesalahan tersebut akan membudaya dan sulit untuk diperbaiki. Bahkan ketika sesuatu yang benar disampaikan, hal tersebut akan dianggap aneh, asing dan dianggap melawan arus.
Masjid di dekat tempat tinggal saya adalah sebuah contoh. Sudah menjadi hal yang lumrah apabila setiap Masjid memiliki satu atau beberapa imam yang tetap. Persoalannya, di Masjid tersebut, imam-imam yang eksis selama ini memiliki beberapa masalah. Pertama, usia nya yang rata-rata sudah tua. Kedua, tentang bacaan surat yang ‘berantakan’ ketika melakukan shalat shubuh, maghrib dan isya yang dalam dua raka’at awal dikeraskan bacaannya. Umur tua tidak menjadi masalah, jika persoalan kedua, bacaan surat, juga tidak bermasalah. Persoalannya justru di situ. Rata-rata bacaannya bermasalah. Ada yang tersengal-sengal. Ada yang terdengar seperti dalang wayang golek. Ada yang seperti berkumur-kumur, meskipun kaidah-kaidah bacaannya baik. Pernah suatu ketika ada orang baru yang menjadi makmum sampai berkali-kali membetulkan bacaan surat sang imam. Pada akhirnya, yang bersangkutan bosan juga membetulkan, dan akhirnya membiarkan.
Di sisi lain, ada orang lain yang seusia dengan imam-imam tersebut atau bahkan yang lebih muda, memiliki kemampuan yang jauh lebih baik. Mereka ini biasanya mengalah jika salah seorang diantara imam tersebut ada. Mereka menjadi imam, hanya jika imam-imam tersebut tidak hadir atau terlambat menghadiri shalat berjama’ah. Meskipun, saya yakin dalam hati mereka juga keberatan di-imam-i oleh imam-imam tersebut. Saya termasuk salah satu yang sering merasa berat hati ketika shalat berjama’ah di-imam-i mereka. Akan tetapi, saya pun tidak bisa menyuarakan perihal itu karena saya juga pendatang di tempat tersebut. Ada kalanya, saya memilih untuk terlambat datang atau bahkan menunggu sampai shalat berjama’ah selesai. Akan tetapi, belakangan saya menyadari bahwa hal tersebut juga tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, shalat berjama’ah di awal waktu lebih utama. Juga ada tuntunan yang menyatakan seorang makmum (yang dipimpin) harus bersabar terhadap kesalahan imam (pemimpin). Meskipun, tidak boleh juga mendiamkan begitu saja.
Saya menilai, rasa sungkan dan alasan kesopanan menjadi penyebab mandegnya fungsi koreksi di Masjid tersebut. Tidak sekedar di Masjid tersebut, di hampir segala aspek kehidupan kita, bisa ditemukan dengan mudah hal-hal seperti itu. Saya juga barangkali termasuk pelaku yang paling kronis dalam hal mendiamkan suatu kesalahan. Padahal, menghormati orang tua atau yang dituakan, tidak berarti tanpa koreksi atau kritik. Begitupun, orang tua dalam menyikapi koreksi, bukan berarti koreksi tersebut untuk melecehkan mereka. Koreksi, kritik justru bisa menjadi sebuah indikator cinta atau tanda hormat. Hanya barangkali yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan koreksi atau kritik tersebut? Maka, teknik komunikasi yang baik menjadi sangat bermanfaat di sini.
‘Amar ma’ruf nahyi munkar itu bersifat universal dan menjadi kewajiban semua orang. Tidak memandang status sosial seseorang di masyarakat. Seseorang yang memahami fungsi ‘amar ma’ruf nahyi munkar tidak akan anti atau alergi terhadap kritik, koreksi dan saran-saran yang bersifat membangun. Dia juga tidak akan memandang remeh orang yang memberikan kritik atau koreksi kepadanya, meskipun seorang gelandangan, jika koreksi yang diberikan memiliki nilai kebenaran.
Dalam sebuah artikel berjudul “Bukan Hanya Salah Fir’aun“1, dalam buku dengan judul yang sama, terdapat beberapa paragraf yang menarik:
Mengapa Fir’aun sampai menganggap dirinya serba cukup, paling hebat dan paling kuat? Bagaimana ia berani bertindak melampaui batas-batas nurani dan kemanusiaan? Di satu sisi menjadi binatang, di sisi lain menjadi “tuhan”? Bukankah dulu pernah ada Raja Sulaiman, yang walaupun kekuasaannya amat besar tapi tak membuatnya arogan. Begitu juga dengan Ratu Balqis. Kerajaannya yang besar tak membuatnya merasa jadi tuhan. Mengapa?
Al-Qur’an telah memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Ternyata orang-orang disekitarnyalah yang membuat Fir’aun merasa serba cukup, paling hebat sekaligus penguasa nan tak tertandingi. Memang Fir’aun bukanlah orang shalih. Tapi segala kejahatan Fir’aun mungkin takkan jadi besar jika ada orang yang berani mengatakan “tidak”. “Maka ia merendahkan kaumnya lalu mereka patuh kepadanya,” (QS az-Zukhruf: 54)
Kekejian Fir’aun adalah berperilaku diktator dan berobsesi menjadi satu-satunya pihak yang harus dipatuhi. Sedangkan kedegilan para pendukungnya adalah tidak berani menolak segala titah Fir’aun betapa pun busuknya. Kejahatan Fir’aun adalah serakah dan kejahatan orang-orang di sekitarnya adalah meluluskan segala kehendak Fir’aun. Kecongkakan Fir’aun adalah memperbudak rakyat jelata. Namun kebodohan rakyat adalah membiarkan dirinya dalam keadaan layak dijajah dan diperbudak. (hal 43-44)
Rumusan yang sama juga terjadi terhadap Hitler, Mussolini, George W. Bush dan yang lainnya. Terlebih lagi jika disekitar pemimpin tersebut berdiri para penjilat yang mementingkan dirinya sendiri, yang penting posisinya aman dan bisa menikmati kekuasaan atau kekayaan, meskipun bukan menjadi orang yang paling berkuasa.
Bandingkan dengan sikap ‘Umar bin Khattab r.a seketika diangkat menjadi Khalifah,
Umar berkata kepada kaum muslimin, “Barang siapa yang melihat ada kebengkokan pada diriku maka luruskanlah” lantas seorang menyambutnya dengan mengatakan, “Andaikan kami melihat suatu kebengkokan pada dirimu maka akan meluruskannya dengan pedang kami (maksudnya akan dikoreksi)”. Umar saat itu hanya mengatakan, “Segala pujibagi Allah yang menjadikan dalam umat Muhammad orang yang mau meluruskan sesuatu yang bengkok pada diri Umar dengan mata pedangnya“
Berbagai macam permasalahan yang menjerat dan sudah membudaya di Indonesia pun berawal dari kesalahan yang sebetulnya sangat sepele. Akan tetapi, dampaknya ternyata menjadi luar biasa. Membuang sampah misalnya. Satu orang membuang ke sungai, dibiarkan saja. Orang lain kemudian mengikuti, bahkan semakin banyak. Jadilah sungai sebuah tempat sampah terpanjang yang bisa ditemui. Sekali kita coba mengingatkan, cibiran yang kita terima. Persoalan korupsi, rokok, pelanggaran lalu lintas … awalnya dari sebuah kesalahan yang dibiarkan, maka menjadi sebuah budaya pada akhirnya. Dengan memahami dan mengamalkan spirit ‘amar ma’ruf nahyi munkar, sudah seharusnya sebuah kesalahan tidak dibiarkan berlarut-larut apalagi sampai membudaya. Jika perlu, segala kesenangan dan jiwa kita korbankan. Sanggupkah kita??
Referensi:
1Tim Sabili. Bukan Hanya Salah Fir’aun. Cetakan I, QalamMas, Jakarta, 2004.
PS: Cintaku … kritik terkadang menyakitkan, tapi adakalanya itulah bentuk cinta yang sesungguhnya kita butuhkan untuk bisa tetap berlari di jalan-Nya.