“Jika bisa menyerang menggunakan Tank, untuk apa menggunakan tangan kosong?” (Rinus Michel)
Sebagai salah satu fans setia Timnas Belanda, terus terang saya merasa khawatir dengan kondisi permainan anak-anak asuh Marco van Basten sekarang. Kurang greget. Dari beberapa pertandingan terakhir yang saya saksikan, diantaranya melawan Romania dan Luxemburg, saya tidak mendapatkan militansi dari skuad orange. Bahkan ketika melawan Luxemburg yang secara kualitas jauh dari Belanda, hanya menang 1-0, di kandang pula. Dengan kondisi seperti itu, saya tidak yakin Belanda bisa sukses di Piala Eropa 2008.
Bahwa Belanda memiliki banyak pemain muda berbakat, ya…saya setuju. Akan tetapi, skill individu saja tidak cukup. Sebab sepak bola adalah olahraga tim. Betapa kesalnya saya ketika menyaksikan Piala Dunia 2006, Belanda ‘hanya’ mengandalkan Arjen Robben. Dan sekarang, ketika Arjen Robben terlalu sering bergelut dengan cedera, giliran Wesley Sneijder yang diandalkan. Memang masih ada pemain muda lain, seperti Rafael van der Vaart dan Robin van Persie, tapi mereka pun memiliki nasib yang sama dengan Robben, rentan cedera.
Sebagai kader dari Rinus Michel, founding father Total Football, Marco van Basten seakan tidak mampu menerapkan ilmunya kepada anak-anak asuhnya. Pemain sepak bola yang hebat, belum tentu menjadi pelatih yang hebat, itulah yang terjadi pada van Basten. Setiap bertanding, mereka selalu tampil monoton. Tidak ada lagi serangan-serangan yang mematikan dan variatif. Terakhir kali, ketika Piala Eropa 2000 saya menyaksikan Belanda tampil impresif, saat itu diasuh olah Frank Rijkaard, meskipun harus kalah adu penalti di semifinal dari Italia yang waktu itu tampil super-defensif. Setelah itu, hanya kegagalan yang menghampiri tim orange. Gagal total di Piala Dunia 2002, alias tidak masuk sama sekali untuk ikut serta di Piala Dunia 2002. Saking nge-fans nya, ketika ditanya, siapa yang akan juara di PD2002? Saya jawab, Belanda!! Padahal sudah tahu mereka tidak lulus dari babak kualifikasi. Ini sih sudah gila namanya 😀 Gagal juga di Piala Eropa 2004. Tersingkir di babak kedua pada saat Piala Dunia 2006.
Saya paling benci dengan tim-tim yang tampil defensif. Bagi saya tampil defensif sama saja dengan penakut, apalagi hanya mencari adu penalti seperti yang dilakukan Italia ketika melawan Belanda di semifinal Piala Eropa 2002. Arrrggghhh, malas sekali menontonnya. Saya paling suka dengan tim yang bermain terbuka, apalagi jika dalam suatu pertandingan, kedua tim bermain terbuka. Saling menyerang. Seperti Brazil vs Belanda di semifinal Piala Dunia 1998. Meskipun kalah, saya puas menontonnya. Bagi saya, yang penting bermain cantik, menghibur dan menarik untuk dinikmati. Sehingga, jika harus bela-belain begadang juga tidak merasa menyesal. Bermain defensif memang efektif, saaaangat efektif sekali untuk menghindari kekalahan, tapi ini merupakan sebuah ‘pembunuhan karakter’ sepak bola yang tujuannya mencetak gol.
Filosofi bermain cantik dan menyerang ini selalu saya terapkan ketika bermain Winning Eleven, Football Manager atau Championship Manager. Pokoknya menyerang habis-habisan, walaupun resiko dari sepak bola menyerang adalah kebobolan lebih banyak. Meskipun kalau ‘ngadu’ WE sama teman-teman, saya sering kalah, yang penting kalah terhormat dan kelihatan usahanya 😀
Nah, persoalannya, filosofi bermain cantik ini sepertinya sudah mulai ditinggalkan oleh Belanda, setidaknya sejak dipegang oleh van Basten. Sehingga, wajar saja, jika setiap bertanding, mereka selalu tampil monoton dan membosankan. Wajar saja, jika setiap bertanding, selalu terdengar konser siul dari para penonton. Konser siul adalah sebuah ekspresi dari penonton yang menggambarkan bahwa “kalian bermain jelek sekali“, “kalian membosankan“, “apa yang kalian lakukan di lapangan? kami ingin menonton sepak bola, bukan sebuah pertunjukan drama…!!” dan ejekan-ejekan semacam itu.
Sialnya, di PD2006 tahun lalu, sepak bola menyerang yang saya dambakan justru diperagakan oleh Jerman yang merupakan musuh bebuyutan Belanda di setiap kompetisi. Belanda sendiri, lagi-lagi tampil monoton dan membosankan, sebelum akhirnya tersingkir di babak 16 besar. Saya sendiri sudah merasa khawatir akan seperti ini ketika para personil Piala Dunia 1998 semacam Dennis Bergkamp, Marc Overmars atau Edgar Davids sudah menurun performa-nya. Dan kekhawatiran saya ternyata terbukti.
Pada dasarnya Total Football mengharuskan keterlibatan seluruh pemain untuk melakukan penyerangan, kecuali kiper, tentu saja. Sebuah penyerangan sporadis, tanpa henti. Oleh sebab itu, Total Football menuntut pemain-pemain yang bisa bermain di berbagai macam posisi. Tujuannya, agar setiap pemain bisa saling mengisi posisi yang ditinggalkan temannya ketika menyerang. Paling tidak, seorang bek pun harus bisa dan berani menyerang jika dibutuhkan. Namun, Total Football juga membutuhkan peran seorang pengatur (playmaker). Peran ini pernah dilakukan dengan baik oleh Johan Cruijff dan Ruud Gullit. Rinus Michel sendiri pernah mengakui kalau strateginya tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa peran pemain semacam Cruijff atau Gullit. Inilah masalah utama Belanda saat ini, tidak adanya sosok playmaker. Saat ini, ada van der Vaart yang diharapkan mampu untuk mengisi peran itu, tapi sayangnya dia masih belum matang dan belum mampu memimpin rekan-rekannya dengan baik. Perlu proses memang. Akan tetapi, mudah-mudahan Belanda bisa kembali mendapatkan formula terbaiknya di Piala Eropa 2008 nanti. Kita tunggu saja.
C 1 H 3 U L 4 17 6. 261107. 03.09
Echi
Wah, pendukung Belanda ceritanya. Halo, saya milaners lho 🙂
Agus Setiawan
wah komen gw gak ada disini…:p
Rusdi Oranje
bravo sepakbola indah ala Total Football!!!
walaupun Barcelona kalah, tapi kalah dengan permainan cantik.
walaupun Belanda Gagal di Piala Dunia ’74 & ’78, Dunia Menjuluki nya dengan SINGA tanpa mahkota! sang Singa yang menampilkan sepakbola modern