mind.donnyreza.net

Terapi Energi

Kali ini, saya ingin menyoroti -lagi- salah satu cabang seni yang saya sukai. Musik. Khususnya perkembangan musik di Indonesia saat ini. Meskipun, saya sudah tidak terlalu mengikuti lagi perkembangannya. Anda tahu arah pembicaraan saya kemana? Bagus kalau begitu. Tidak mengerti? Ya, mau bagaimana lagi..? 😀

Bukan kapasitas saya untuk menentukan sebuah karya seni itu buruk atau baik. Meskipun, secara subjektif saya juga bisa menilai mana karya seni yang menurut saya baik, dan mana yang tidak. Baik menurut saya, belum tentu baik menurut orang lain. Selera berbicara. Ketika berbicara selera, maka perdebatan tentangnya akan menjadi sebuah debat kusir tak berujung. Menghabiskan energi.

Seperti juga dalam bidang-bidang lainnya, dalam (industri) musik juga muncul musisi-musisi yang idealis. Adalah mereka yang tidak mau atau enggan berkompromi dengan pasar. Lebih cenderung ingin menjadi trend-setter, meski tidak kunjung nge-trend, dan terkesan egois karena karya yang dihasilkan biasanya ‘beda’ jika tidak ingin dikatakan ‘aneh’. Akan tetapi, musisi semacam ini biasanya memiliki fans yang loyal dan fanatik, meskipun tidak sebanyak fans musisi yang mapan di ‘pasar’. Beberapa memang muncul dan tetap eksis dengan idealismenya, tapi lebih banyak yang mati di tengah jalan atau tergoda oleh kemapanan industri musik dengan mengikuti selera pasar. Begitulah nasib idealis, dimanapun. Selalu berada diantara pilihan antara tetap idealis, atau mengikuti selera pasar.

Memang, ketika berbicara tentang industri musik, tidak bisa dipisahkan dari yang namanya uang. Pastinya seorang idealis pun butuh uang, yang banyak kalau bisa. Lagipula, tidak ada ceritanya seorang idealis identik dengan kemiskinan. Toh, perkembangan musik saat ini juga ditentukan oleh para idealis. The Beatles, Queen atau Elvis Prestley adalah idealis di zamannya. Karena mereka unik, mereka menjadi ikon perubahan dan menginspirasi sampai sekarang. Di Indonesia contoh yang paling kongkrit adalah Slank dan Iwan Fals. Oh ya, satu lagi … Rhoma Irama dan Soneta-nya. Musisi mana yang memiliki fans lebih banyak daripada mereka?

Hanya saja, karena industri dikuasai oleh pemilik uang, maka yang bersangkutanlah yang menjadi decision maker. Pemilik uang tentulah mencari musisi yang -diperkirakan- akan menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan. Singkatnya, perusahaan mencari musisi yang karyanya dipastikan akan laku di pasaran. Sementara yang laku di pasaran biasanya hanya genre musik tertentu saja. Di sinilah sesungguhnya ‘malapetaka’ bagi seniman musik dan musik itu sendiri, terutama bagi para idealis. Sebab, peluang bagi karya musik yang termasuk kategori ‘tidak laku’, ‘kurang peminat’ atau ‘kurang dikenal’ menjadi sangat kecil untuk bisa memasuki industri musik, apalagi sampai masuk ke pasar.

Untungnya, tidak semua pelaku industri juga perilakunya sama. Ada juga yang idealis. Masalahnya, mempertemukan sesama idealis ini juga bukan hal yang mudah. Seperti mencari jodoh saja. Dirasa-rasa cocok, nyatanya tidak. Dirasa-rasa tidak cocok, ternyata memang tidak cocok. Harus sevisi atau setidaknya memiliki beberapa kesamaan maksud dan tujuan, meski tidak harus semua sama. Dan yang jelas, harus siap dengan segala kerugian yang mungkin ditanggung. Disinilah letak perjudiannya.

Pertengahan 90-an adalah saat dimana gerakan Indie (independent) Label mulai muncul. Bandung menjadi barometernya saat itu. Dari deretan musisi Indie, muncul nama-nama yang saat ini sudah cukup dikenal, PAS Band dan /rif. Saat itu, karya mereka memang unik dan beda. Beberapa nama band tetap berada di jalur Indie, atau bahkan ‘mati’. Puppen, Pure Saturday dan Koil adalah contohnya. Ide Indie Label adalah sebuah jawaban atas sulitnya memasuki industri musik saat itu. Dengan dana sendiri -atau patungan- musisi tersebut merekam, mendistribusikan dan mempromosikannya sendiri, tanpa mengorbankan ide-ide mereka dalam bermusik. “Ini karya gua, lu suka? Dengerin! Gak suka? Tinggalin!“, begitu barangkali dalam benak mereka.

Meskipun telinga saya juga terbiasa dengan musik-musik di pasaran, akan tetapi ada saat dimana saya merasa muak bosan dengan kondisi industri musik di Indonesia. Dalam penilaian saya, tidak ada bedanya situasi sekarang dengan era 80-an, ketika lagu-lagu didominasi oleh lagu melankolis nan sendu. Atau ketika musik Malaysia ‘menjajah’ Indonesia. Hanya beda karakter musik saja. Nyaris seluruh musisi baru saat ini menawarkan tipikal musik yang sama. Bertema cinta, romantis, mendayu-dayu, melankolis dan -kalau bisa- bikin nangis. Ah, siapa yang tidak suka lagu semacam itu?

Persoalannya, lagu-lagu semacam itu cenderung ‘melemahkan’ hati pendengarnya. Ya, ya … saya juga tahu rasanya menjadi sentimentil dan melankolis. Dan rasanya tidak bagus, serasa manusia paling apes sedunia. Pret!! Itulah sebabnya, ketika berlagu saya sudah tidak sampai pada tahap ‘menghayati’ isi lirik lagu lagi. Sekedar bersenandung saja, tanpa makna, apalagi sampai menyamakan suasana hati dengan lirik lagu. Kualitas musik adalah yang utama, isi lirik tidak terlalu diperhatikan. Kecuali pada beberapa lagu yang memang berisi pencerahan atau mengajak merenung atau liriknya lucu, seperti lagu “Kesaksian Diri” dari Opick. Sampai merinding saya dibuatnya.

Beruntung, saya masih mendapati dan bisa mendengarkan beberapa musisi yang berani tampil beda. Terus terang saja, di tengah gempuran musik-musik mellow seperti sekarang, musik rock berubah menjadi sesuatu yang begitu saya rindukan. Saya suka musik rock seperti juga saya menyukai genre musik yang lain. Musik alternatife rock pernah begitu berjaya di akhir 90-an dan awal 2000. Akan tetapi, saya kurang menyukai jenis musik tersebut saat itu. Berbeda situasinya dengan sekarang, rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran musik rock. Barangkali sebuah indikasi bahwa saya mulai jenuh dengan musik-musik yang mellow.

Maka, mulailah saya mencari musik-musik yang cenderung lebih nge-rock, berisik dan chaos. Ya, saya perlu musik-musik yang lebih bersemangat untuk didengarkan di pagi hari. Seakan-akan hari itu akan berangkat perang, berjuang. Saya memerlukan energi baru. Bukan akan patah hati. Dan ternyata saya mendapati beberapa lagu yang selama ini saya abaikan, lagu “What If” dari Creed dan “Simple” dari Collective Soul adalah contoh musik yang galak.

Lalu saya dipertemukan juga dengan musik-musik Bondan Prakoso & Fade2Black, The Miracle dan Saint Loco. Yeah, i like it. Saya sempat underestimate dengan The Miracle dan Saint Loco, tapi ternyata lagu-lagu mereka yang paling sering saya putar sekarang. Ketidaknyamanan saya hanya pada beberapa lirik lagu Bondan yang cenderung kasar.

The Miracle dijuluki Dream Theater nya Indonesia, karena pada awalnya mereka memang selalu membawakan lagu-lagu Dream Theater. Album perdananya, TheM, juga 80% terpengaruh Dream Theater. Meski tidak segarang Dream Theater. Ada kemegahan dalam musik mereka, keindahan melodi dan pastinya macho. Semuanya menjadi satu. Meski lirik lagu mereka lebih sederhana, tentang cinta juga, tapi musiknya lah yang menjadi kekuatan utamanya.

Diluar dugaan, saya benar-benar jatuh cinta pada musik yang ditawarkan Saint Loco. Sebagian besar materi musiknya bergenre hip rock a la Linkin Park, meski di beberapa bagian, saya merasa seperti mendengar influence Dream Theater. Beberapa lagu menjadi favorit saya, yaitu “Hip Rock”, “Get Up” dan “Terapi Energi”. Saya -sedang- suka sekali dengan geberan gitar dan hentakan drumnya yang ‘galak’. Musik yang benar-benar bisa menyuntikan energi baru.

Exit mobile version