Judul yang aneh…
Dulu saya beranggapan bahwa perilaku konsumen itu mayoritas akan seperti saya semua. Cuek dan tidak ambil pusing dengan berbagai macam promosi atau iklan di majalah, televisi, dll. Akan tetapi, saya belakangan baru menyadari bahwa, jangan-jangan, saya merupakan sebuah anomali diantara konsumen. *Halah, dramatisir…!!*
Saya pernah bertanya pada sahabat saya, seorang pengusaha madu, perihal pengaruh iklan di beberapa majalah Islami di negeri ini. Besar pengaruhnya dalam hal penjualan, katanya. Sementara pada saat yang bersamaan -ketika itu- saya masih berfikir bahwa iklan-iklan di majalah atau tv itu hanya sekedar pengganggu pemanis saja. My fault, karena saya memang tidak pernah merasa peduli dengan iklan-iklan tersebut, lantas saya mengasumsikan bahwa orang lain akan sama dengan saya. Padahal, sudah jelas-jelas iklan itu berpengaruh besar, ya? Kalau tidak ada pengaruhnya, mana mungkin produk-produk itu mau memasang iklan dengan modal besar? Kamana wae atuh, Don?
Hehe. Bukan tidak tahu, hanya selama ini saya terlalu menggeneralisir orang lain dengan variabel yang melekat pada saya. Jadilah saya berpendapat bahwa sebetulnya mayoritas konsumen berpandangan seperti saya. Ternyata sekarang pikiran saya terbalik, jangan-jangan konsumen seperti saya adalah minoritas.
Saya tidak akan terlalu tergoda dengan kata-kata narsis dari iklan suatu produk. Dan saya juga malas melayani cuap-cuap orang marketing, salesman atau SPG perihal suatu produk. Saya merasa kurang nyaman saja dengan sesuatu yang dilebih-lebihkan. Pegangan saya hanya satu, there is no such thing as perfect product. Bahwa ada produk yang terbaik, benar. Akan tetapi, tidak ada produk yang sempurna. Masalahnya, yang menilai suatu produk itu terbaik adalah pengguna produk tersebut, bukan ‘orang dalam’ produk tersebut. Itu juga sebabnya saya tidak terlalu tertarik dengan MLM.
Akibatnya, saya tidak akan cerewet mengenai kekurangan-kekurangan suatu produk atau layanan yang diberikan dari pembelian produk tersebut. Misalnya, ketika suatu rumah makan terasa lama melayani dan hidangan belum muncul juga. Saya akan menunggu sampai makanan itu tiba, meski sesekali menanyakan perihal lamanya pelayanan tersebut. Agak sedikit kesal pastinya. Setelah makanan tiba, ya dimakan … sampai tuntas. Hanya barangkali, besok-besok saya tidak akan datang ke tempat makan itu lagi.
Kapok kah saya? Belum tentu. Saya agak pemaaf. Barangkali ada faktor lain yang menyebabkan lambatnya pelayanan, misalnya banyaknya pengunjung, kompor meleduk, kehabisan minyak tanah, dll. Saya ‘kan tidak tahu apa yang terjadi di balik dapur. Mungkin suatu saat saya akan datang ke tempat itu lagi, memesan makanan… then, wait and see. Jika pelayanan masih sama seperti dulu ketika saya pertama kali datang, maka itu berarti rumah makan tersebut tidak pernah melakukan evaluasi. Baru lah saya akan sangat malas untuk datang ke tempat itu lagi. Meskipun, bukan berarti saya tidak akan pernah datang lagi. Pintu maaf itu selalu terbuka. *Halah!!*
Kenapa tidak memberikan kritik? Saya kan sudah bilang, saya ini bukan tipikal konsumen cerewet. Apalagi sampai menyebarkan suatu kejadian di surat pembaca media massa. Selama ‘kerugian’ yang saya alami masih bisa ditolerir, untuk apa juga dipermasalahkan?
Ekspektasi saya terhadap suatu produk juga tidak pernah berlebihan. Wajar-wajar saja. Dalam penggunaan nomor handphone misalnya, selama menggunakan operator yang saya gunakan bertahun-tahun, bukan berarti tidak ada gangguan. Pasti ada. Hanya saja, selama ini gangguan yang terjadi sifatnya sesekali. Tidak melulu ada gangguan. Toh, selama ini komunikasi saya dengan orang lain masih lancar-lancar saja. Memang ada sesekali spam, memang ada sesekali tulalit, memang ada saat sesekali sulit mengirim sms, akan tetapi selama hal tersebut tidak berkepanjangan, untuk apa juga dipermasalahkan?
Handphone? Apalagi… Anda akan kasihan melihat saya memegang dua buah handphone lama yang casing-nya sudah pecah-pecah, sudah low-bat dan sesekali perlu dibanting untuk menyalakannya. Ya, benar…dibanting!! Tapi, dibantingnya ke kasur :p Orangtua saya pernah mau membelikan yang baru, tapi saya berakting menolaknya, dengan alasan agar digunakan untuk keperluan yang lain saja. Saya juga bukan tidak pernah dikritik oleh teman-teman saya perihal handphone tersebut. Akan tetapi, selama ini kebutuhan saya akan komunikasi telepon dan sms masih tercukupi, kok. Jadi, buat apa juga beli yang baru? Meskipun kalau melihat handphone-handphone terbaru, ngiler juga melihatnya :))
Dalam membeli suatu produk, saya adalah tipikal konsumen yang lebih menyukai kebebasan untuk memilih. Paling malas jika sudah didekati, ditanya-tanya apalagi sampai diikuti oleh penjaga toko. Percayalah, saya akan langsung pergi jika dibegitukan. Apalagi jika secara tiba-tiba saya didekati dan ditawari suatu produk tertentu, seringnya saya cuekin atau saya tinggalkan. Ini berbeda sekali dengan salah seorang sahabat saya. Dia justru paling suka dengan cara seperti itu. Merasa lebih dilayani, katanya. Sementara buat saya, rese namanya. Biarkan saja saya berkeliaran di toko, saya tidak akan pernah mencuri. Kalau cocok pasti saya beli, kalau tidak cocok pergi lagi.
Barangkali itu lah sebabnya toko buku seperti Gramedia dan BBC di Bandung membuat saya nyaman. Saya merasakan kebebasan untuk memilih dan saya juga bisa datang dan pergi sesuka hati saya. Feels like home. Tentu saja rumah saya ukurannya, karena di rumah saya tidak ada yang suka tiba-tiba mendekati, bertanya-tanya dan promosi produk seperti di mall-mall. :p
Oleh sebab itu, sebelum membeli suatu produk -biasanya elektronik- saya akan mengumpulkan informasi dulu sebanyak-banyaknya. Termasuk juga testimoni dari mereka yang pernah menggunakan produk tersebut. Kemudian, cari tahu di mana saya bisa mendapatkannya. Lantas lakukan perbandingan harga diantara beberapa toko. Syukur-syukur jika harga produk tersebut sudah bisa ditemukan di depan toko, jadi saya tidak perlu menanyakan lagi ke penjaga toko. Atau jika tidak ada, lihat di brosur-brosur yang disediakan toko tersebut. Setelah itu … pulang. Ya, pulang … saya tidak akan membeli pada saat itu juga.
Besoknya atau lusa atau bahkan beberapa hari kemudian, saya datang lagi ke toko yang sudah saya tentukan untuk kemudian melakukan transaksi. Oleh sebab itu, pada hari ketika saya akan membeli produk tersebut, saya tidak pernah berlama-lama di tempat tersebut. Paling lama 15 menit. Barangkali kalau diilustrasikan, dialog yang sering saya lakukan setiap membeli produk adalah seperti ini:
Donny: “*nama produk* masih ada?”
Penjaga Toko (PT): “Oh, ada …”
Donny: “coba lihat, berapaan?”
PT: “bla … bla …ribu rupiah.”
Donny: “nggak bisa kurang?”
PT: “aduh, nggak bisa euy!”
Donny: “ya udah, saya beli satu.”
Transaksi dilakukan.
Donny: “Oke, nuhun…”
PT: “Sama-sama“
Begitulah. Sederhana dan mudah saja bertransaksi dengan saya. 😀 Jika ada yang akan saya beli, maka saya akan fokus ke benda tersebut. Tidak ke yang lain-lain. Buat saya, sebelum membeli suatu produk, saya harus tahu dengan pasti berapa harganya dan tempat mana yang harus saya tuju untuk mendapatkan produk tersebut. Informasi yang saya butuhkan biasanya saya ambil dari brosur resmi atau website resmi produk tersebut.
Memang, pada akhirnya informasi yang saya dapat dari iklan juga, tapi jika iklan tersebut memuat spesifikasi fitur dari produk tersebut. Ditambah review dari orang-orang yang pernah menggunakan, dengan begitu saya juga akan tahu apa yang menjadi kekurangan dari produk tersebut. Jika ingin produknya saya beli, tidak cukup dengan hanya ‘menceritakan’ kelebihan produk tersebut, tapi juga harus mau menceritakan kekurangannya. Akan tetapi, marketing mana yang mau melakukan itu ya? :))