Belajar dari sejarah, ada dua hal yang menurut saya cukup penting dan terlupakan oleh bangsa kita, atau setidaknya oleh pemerintah kita. Kalau pun sudah dilakukan, namun sepertinya kurang optimal. Pertama, soal penerjemahan buku, dan yang kedua adalah soal pengiriman orang-orang terbaik kita untuk mengenyam pendidikan di luar negeri dan mengaplikasikan serta mengamalkannya di dalam negeri.
Buku Terjemahan
Setidaknya ada dua fase yang menjadi rujukan saya untuk membuktikan betapa pentingnya buku terjemahan sebagai salah satu faktor kemajuan sebuah bangsa. Pertama, ketika Islam berhasil menguasai peradaban dan yang kedua ketika Eropa mulai menunjukkan kemajuan dalam bidang teknologi.
Ketika Islam mulai menguasai sebagian belahan bumi ini, salah satu hal yang dilakukan oleh pemerintahnya adalah mendorong kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan menerjemahkan buku-buku atau manuskrip-manuskrip yang berhubungan dengan iptek, yang berasal dari berbagai sumber. Diantaranya adalah buku-buku filsafat Yunani, kedokteran, matematika dan lain-lain.
Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Eropa di masa-masa awal berakhirnya Perang Salib. Ribuan buku berbahasa arab diterjemahkan. Beberapa buku yang diterjemahkan diantaranya, “Muqaddimah” karya Ibnu Khaldun, buku-buku kedokteran Ibnu Syifa (Avicenna) dan buku-buku Ibnu Rusyd (Averos).
Penerjemahan buku bertujuan untuk mempermudah akses bagi para calon ilmuwan terhadap sumber-sumber utama ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimanapun, tidak semua orang Indonesia mengerti bahasa Inggris atau Jepang. Juga akan menyita cukup banyak waktu jika setiap orang harus belajar atau harus bisa bahasa asing terlebih dahulu agar bisa memahami isi buku dari luar negeri.
Pengiriman Mahasiswa ke Luar Negeri
Jepang pernah melakukan ini, Malaysia bahkan sampai mengirim orang-orangnya untuk belajar dari Indonesia, itu juga yang pernah dilakukan oleh India. Begitu pula ketika Eropa mengirim orang-orang terbaiknya untuk belajar dari pemimpin peradaban saat itu. Dan hasilnya bisa kita lihat sekarang.
Jepang menjadi pemimpin dalam bidang teknologi. Malaysia sudah jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan India, yang selama ini kita olok-olok karena filmnya, adalah penyumbang terbanyak orang-orang yang memimpin dunia ICT.
Memang banyak orang Indonesia yang menuntut ilmu di Luar Negeri atau di ‘kantung-kantung’ ilmu pengetahuan. Akan tetapi, banyak pula yang menyatakan tidak ingin kembali ke Indonesia. Ada berbagai macam alasan, diantaranya adalah karena apresiasi pemerintah Indonesia dirasa sangat kurang terhadap mereka. Selain itu, mereka pergi atas biaya sendiri atau beasiswa dari lembaga-lembaga yang berasal dari luar negeri, sehingga merasa tidak memiliki tanggung jawab apa pun terhadap negara.
Akan berbeda halnya jika mahasiswa-mahasiswa yang kuliah ke luar negeri dibiayai sepenuhnya oleh negara. Lalu setelah masa pendidikan selesai mereka diberi ruang untuk mengembangkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Lebih dari itu, diberikan apresiasi, entah berupa uang, penghargaan atau pun proyek-proyek penelitian. Ini yang kurang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Tanggung Jawab Pemerintah
Meskipun ada ratusan penerbit buku di Indonesia, akan tetapi penerbit-penerbit buku tersebut hanya akan menerbitkan buku-buku yang diyakini menjanjikan dalam hal penjualan. Oleh sebab itu, mudah dimengerti jika buku terjemahan yang tersedia di Indonesia lebih banyak didominasi oleh buku-buku nonfiksi semacam novel. Sementara buku-buku sains terjemahan masih jauh lebih sedikit.
Akan berbeda halnya jika dalam hal terjemahan tersebut, pemerintah mengambil peran. Katakanlah dengan mendirikan Lembaga Penerjemahan, yang terdiri dari orang-orang yang kompeten dan memiliki penguasaan bahasa asing yang mumpuni. Jika 100 orang dibebani tugas untuk menerjemahkan masing-masing 1 judul buku dalam 3 bulan, maka dalam 1 tahun pemerintah Indonesia sudah memiliki 300 judul buku terjemahan.
Agar penerbit juga diuntungkan, buku-buku tersebut diorderkan ke-300 penerbit. Bisa juga dengan sistem kerjasama atau sponsorship, agar beban pemerintah juga tidak terlalu berat. Katakanlah sekali terbit, pemerintah membayar atau bekerja sama dengan para penerbit itu untuk mencetak 1000 eksemplar. Kemudian buku-buku tersebut disebarkan ke perpustakaan-perpustakaan umum, sekolah dan universitas. Tanpa biaya.
Agar lebih memudahkan lagi, tidak ada larangan bagi setiap orang untuk memperbanyak buku tersebut. Oleh sebab itu, permasalahan lisensi buku menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membicarakannya dengan pengarang dan penerbit aslinya. Dengan cara seperti itu, setiap orang akan lebih mudah mengakses ‘isi’ buku tersebut. Entah itu difotokopi, atau membeli bajakannya sekalipun tidak akan menjadi masalah.
Apalagi dengan adanya internet, semakin lebih mudah lagi. Pemerintah tinggal menyediakan situs khusus yang berisi seluruh ebook terjemahan tersebut. Setiap orang bebas mengunduh file-file yang tersedia dan diperbolehkan untuk membuat versi cetaknya, bahkan menjualnya, meskipun sebatas pengganti ongkos cetak.
Selain itu, ada cara lain lagi. Adanya kontrak kerja dengan mahasiswa yang dikirim ke luar negeri dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Misalnya, setiap mahasiswa yang mendapatkan beasiswa diwajibkan untuk menerjemahkan minimal sebuah buku yang terkait bidang pendidikan mahasiswa tersebut.
Selain menerjemahkan buku, mahasiswa tersebut juga diwajibkan menulis minimal satu judul buku. Buku tersebut harus berhubungan dengan bidang yang diambilnya. Kemudian buku tersebut diserahkan kepada pemerintah. Namun, mahasiswa tersebut tetap mendapatkan hak dari terbitnya buku tersebut. Seperti, namanya tercantum sebagai penulis buku dan mendapatkan uang lelah. Meskipun, dengan sepenuhnya dibiayai beasiswa itu saja sudah cukup.
Kontrak kerja lainnya adalah dengan mewajibkan para penerima beasiswa tersebut untuk kembali ke Indonesia dan mengajar di universitas-universitas atau sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah. Katakanlah untuk jangka waktu 5 tahun. Atau ditempatkan di lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan bidang pendidikan penerima beasiswa, dan dituntut untuk menyumbangkan dan mengembangkan berbagai inovasi di bidang tersebut. Untuk kemudian menuliskan dan mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya.
Penerima beasiswa yang tidak kembali ke Indonesia akan mendapatkan hukuman. Misalnya, dicap “pengkhianat” dan dalam KTP keluarganya akan diberikan cap “keluarga pengkhianat”, sehingga anggota keluarga lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan beasiswa serupa. Persis seperti yang dilakukan pemerintah kita terhadap keluarga PKI. Itu hanya salah satu contoh saja. Tentunya ada berbagai macam hukuman yang bisa diberikan.
Penutup
Saran-saran dalam tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran dan opini pribadi. Terlepas dari apakah saran tersebut kongkrit atau tidak, realistis atau tidak dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Mudah-mudahan, jika ada pemerintah yang baca, tulisan ini bisa memberikan sumbangan yang berarti. Meskipun hanya dalam tataran wacana.
Bandung. 19 Mei 2008. 21.00.
NB: Bhehehe, judulnya panjang pisan ya? Bingung atuh da, judul yang pas kira-kira apa ya? 😀 Tulisan ini terinspirasi ketika mengingat betapa kesulitannya saya mendapatkan referensi buku-buku berbahasa Indonesia terkait tema skripsi yang saya ambil.