Haduh, judulnya :-p
Kemarin siang, setelah pulang dari sebuah kegiatan yang berlangsung semalaman, saya melihat berita. “Pak Harto Kritis”, judul berita tersebut. Entah kenapa, saat itu saya merasa tidak yakin bahwa beliau akan bertahan lebih lama lagi. Prediksi saya, siang itu akan jadi hari terakhirnya. Barangkali karena saya juga sudah terlalu jenuh dengan ekspose media yang berlebihan mengenai kondisi kesehatannya. Benar saja, ketika terbangun dari tidur saya melihat televisi dengan judul yang sudah berubah, “Pak Harto Wafat”. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Secara personal, saya tidak punya masalah apa pun dengan Bapak Pembangunan tersebut. Pun, tidak merasa berhutang budi. Netral. Tidak terlalu bangga dengan ‘prestasi’ yang pernah dicapai selama kepemimpinannya, juga tidak terlalu membabi buta mencaci apalagi sampai menghinakan ‘kesalahan’-nya. He’s not Superman. Namun, bahwa beliau memiliki karisma dan seorang tokoh yang kontroversial, patut diakui. Dicintai, pada saat yang sama juga ditakuti sekaligus dibenci. Bukankah panggung sejarah dipenuhi oleh tokoh-tokoh semacam ini? Jadi, ndak mesti heran toh?
Pada dasarnya, barangkali sebagian besar masyarakat Indonesia sudah memaafkan atau bahkan melupakan kesalahannya, seperti juga ‘kita’ sudah memaafkan dan melupakan kesalahan Soekarno. Saya jadi ingat salah seorang tokoh favorit saya, HAMKA. Betapa pun beliau pernah merasakan penderitaan akibat perlakuan Soekarno, HAMKA masih berbesar hati untuk menjadi imam shalat jenazah Soekarno. Kali ini pun saya melihat hal yang serupa terjadi pada diri AM Fatwa, tahanan politik zaman Soeharto, yang bersedia untuk melayat jenazah Soeharto. Sungguh, sebuah sikap yang patut dipuji.
Sebagai seorang suami, ayah dan kakek, saya melihat Pak Harto sebagai sosok yang hangat dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, sebagai seorang Presiden, tindakan atau kebijakannya yang dirasa ‘merugikan’ -mungkin- dirasa perlu saat itu, demi stabilitas negara. Benar dan salah, hanya masalah perspektif saja. Saya sendiri tidak pernah meragukan nasionalisme dan loyalitasnya terhadap bangsa Indonesia. Hanya saja kekuasaan memang kerap menjerumuskan manusia, apalagi jika disekitarnya adalah para penjilat yang mencari aman dan kesenangan dirinya sendiri. Dan, entah mengapa saya merasa yakin meskipun tanpa bukti, 32 tahun Pak Harto berkuasa sebagiannya merupakan andil para penjilat ini.
Dan, sekarang, saya hanya bisa berdo’a, semoga beliau baik-baik saja di alam sana. Hanya saja, saya penasaran, sewaktu beliau sekarat, ada yang membimbing beliau untuk mengucapkan kalimat tahlil tidak ya?! Rasanya keterlaluan jika diantara banyak manusia dan ekspose media yang bertubi-tubi itu, tidak ada satu pun orang yang mengingatkan keluarganya untuk melakukan hal itu.
C 1 H 3 U L 4 7 6. 280108.07.00
NB: saya kok malah paling suka melihat ekspresi sedih-nya pak Harto ketika prosesi pemakaman ibu Tien ya? Beda aja, jarang-jarang melihat ekspresi beliau seperti itu.