Site icon mind.donnyreza.net

Belajar Bijak

Sebuah ‘benturan’ paradigma antara saya dan orang tua pada akhirnya memaksa saya untuk mengambil jalan tengah antara idealisme dan ekspektasi mereka. Ya, saya tidak terlalu bisa meyakinkan kedua orang tua saya perihal ‘jalan pedang’ yang ingin saya tempuh. Saya tidak terlalu menyalahkan mereka, bagaimana pun saya tetaplah ‘anak kecil’ di mata mereka. Mereka ingin yang terbaik bagi saya. Itu saja sudah cukup menjadi pembuktian cinta mereka yang tanpa akhir kepada saya. Pada akhirnya, saya ‘mengalah’. Mudah-mudahan itu pun menjadi bukti cinta saya pada mereka.

Dan, sungguh…hati saya sering luluh dan lidah kerap kali menjadi sangat kelu setiap kali beradu argumen dengan mereka perihal masalah tersebut. Terlebih dengan ayah saya yang tutur katanya halus, namun seringkali menghujam ke dalam hati dan berkali-kali membuat saya terdiam. Saya kenal sekali karakter ayah saya, karena saya mewarisi sebagian besar sifat-sifatnya. Hanya ketampanannya saja yang tidak saya warisi. Anehnya, adik bungsu saya yang mewarisi ketampanannya, tidak mewarisi sifat-sifatnya. Selama ini saya tidak pernah mendapati kata-kata kasar darinya. Dan kata-kata yang menghujam itu, saya tahu pasti berasal dari kelembutan hatinya. Lebih lembut daripada wanita-wanita yang saya kenal, termasuk ibu saya. Oleh sebab itu, beliau sangat dihormati oleh keluarganya, saudaranya, tetangganya dan atasan serta bawahan di tempatnya bekerja. Maka, saya tidak terlalu heran jika kemudian beliau bisa menjadi ‘jalan hidayah’ bagi beberapa orang yang dikenalnya, meskipun pengetahuan ayah saya terhadap agama sangat kurang. Bahkan sampai saat ini, beliau masih terbata-bata membaca Al-Quran.

Akan tetapi, justru ayah saya juga yang menjadi salah satu alasan kenapa saya tidak ingin menjalani hidup seperti yang dijalaninya. Bukan karena saya benci ayah saya, tapi justru karena saya sangat mencintainya. Ayah saya tipikal orang Indonesia pada umumnya. Kurang berani mengambil resiko dan lebih suka untuk berada di dalam comfort zone. Sifat yang menurun pada saya juga sebetulnya. Oleh sebab itu, sepanjang karirnya, beliau memilih untuk menjadi karyawan. Tidak terlalu tertarik untuk berbisnis, karena kapok setiap memulai bisnis selalu ditipu oleh rekan bisnisnya. Saya pun pernah senewen ketika mendengar cerita dari ibu bahwa ayah saya menolak tawaran untuk menjadi CEO di perusahaan tempatnya mengabdi, dan ditempatkan di China. Ketika saya konfirmasi kepada ayah saya, jawabnya “malas, terlalu jauh dan harus belajar bahasa China dulu, lagian sebentar lagi juga pensiun, sementara tanggung jawabnya juga besar“. Ketika saya sindir, “wah, pantas aja kita susah jadi orang kaya“. Beliau hanya tertawa saja.

Soal etos kerja dan loyalitas, saya tidak pernah meragukan beliau. Tentu bukan karena penilaian yang asal-asalan jika ayah saya pernah mendapat penghargaan sebagai “Manager Teladan” di sebuah perusahaan furniture terbesar di Indonesia, tempatnya bekerja selama hampir 20 tahun terakhir. Ketika saya tanya apa alasan perusahaan memberikan penghargaan itu, beliau hanya menjawab, “nggak tahu“. Ternyata, belakangan saya baru tahu kalau penghargaan itu diberikan karena pencapaiannya dalam memenuhi bahkan melebihi target produksi selama 1 tahun. Selain itu, saya juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa beliau sangat dekat dengan bawahan-bawahannya dan pembelaannya terhadap nasib bawahannya jika dirasa ada peraturan atau kebijakan perusahaan yang ‘merugikan’ karyawan.

Akan tetapi, entah kenapa ‘prestasi-prestasi’ yang telah dicapai ayah saya tersebut tidak pernah membuat saya ingin mengikuti jejaknya. Saya lebih tertarik untuk berbisnis meskipun saya tahu bahwa karakter yang saya warisi dari ayah terbukti menjadi ‘penghambat’ untuk terjun ke dunia bisnis. Saya terlalu perasa dan terlalu memikirkan perasaan orang lain, lemah dalam bernegosiasi, introvert dan cenderung menghindari konflik. Dan seperti ayah saya juga, perlu diakui bahwa saya juga kurang berani mengambil resiko. Itulah sebabnya, saya sedang belajar mengikis sifat-sifat yang menjadi hambatan tersebut.

Malapetaka itu datang beberapa minggu yang lalu, ketika paman saya menghubungi ayah saya dan menginformasikan bahwa institusi tempatnya bekerja membutuhkan banyak sarjana komputer. Jika diterima, maka saya akan berstatus menjadi PNS dan ditempatkan di Jakarta. Saya sebut malapetaka karena betapa pun menggiurkannya, menjadi PNS tidak pernah ada dalam daftar pekerjaan yang saya minati. Apalagi sampai ditempatkan di Jakarta, kota yang pernah membuat saya ‘sakit’. Saya bisa gila jika kemudian mengikuti saran dari orang tua untuk melamar ke institusi tersebut dan sampai diterima.

Sementara itu, apa yang saya cita-citakan pun belum memberikan bukti apa-apa kepada orang tua. Saya malah ‘tersesat’ menjadi operator warnet, pedagang kaki lima atau menjadi tenaga outsourcing yang paling lama hanya 1 bulan. Hidup luntang-lantung, tidak jelas arah dan tujuan serta penghasilan yang pas-pasan. Meskipun, sejujurnya saya cukup menikmati hidup yang kurang mapan seperti itu. Lebih banyak kejutan dan lebih dinamis. Wajar jika kemudian orang tua resah dan sangat berharap pada saya untuk mencoba mengirim lamaran ke tempat paman saya tersebut. Oleh sebab itu, berkali-kali ayah saya menelpon dan meminta saya untuk mengirim lamaran ke tempat tersebut. Begitu pun sudah berkali-kali juga saya mengatakan bahwa saya sedang ada pekerjaan, meskipun bukan pekerjaan tetap. Akan tetapi, ayah saya tetap ‘memaksa’ untuk mengirim lamaran tersebut, karena apabila bekerja di sana, saya bisa lebih mapan. Bingung lah saya.

Saya benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Satu-satunya cara yang terpikir adalah saya harus dapat pekerjaan dalam waktu 1 minggu. Dengan begitu, orang tua saya tidak akan terlalu resah. Tapi, kerja di mana? Sementara sudah setahun lebih saya tidak pernah mengirim surat lamaran lagi karena sudah malas. Sampai akhirnya, saya nyaris saja ‘menyerah’ sebelum di ‘menit akhir’ pertolongan itu datang. Tepat di hari terakhir deadline yang saya tentukan. Telepon dari sebuah perusahaan meminta saya datang untuk wawancara. Padahal, lamaran ke perusahaan itu adalah lamaran terakhir yang saya kirim, satu tahun yang lalu. Esoknya saya datang dan diwawancara, langsung diterima hari itu juga dan besoknya dikirim tugas ke luar kota.

Ada beberapa pertimbangan kenapa akhirnya saya memutuskan untuk back to office. Pertama, saya sangat menghormati ayah saya dan juga berusaha untuk menjaga kehormatannya. Saya berusaha memahami keresahan ayah saya. Sebagai seorang manager, sudah puluhan orang yang melalui bantuannya bisa masuk ke perusahaan tersebut. Tentunya akan menjadi beban pikirannya jika anaknya sendiri malah ‘menganggur’. Sebuah ironi. Saya sendiri tidak pernah meminta untuk dipekerjakan di sana, meskipun ada jatah untuk anaknya, sebuah fasilitas dari perusahaan. Saya hanya tidak suka mengekor kepada ayah saya, karena itu berarti saya harus menanggung beban nama baik ayah saya. Dan saya juga tidak ingin jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan beliau. Terus terang saja, saya seringkali merasa bersalah setiap kali ada acara yang melibatkan banyak orang dan saya selalu kebingungan menjawab pertanyaan “kerja di mana?“. Dan setiap kali itu juga, ayah berusaha “membela” saya, meskipun saya tahu, hatinya terusik.

Kedua, perusahaan tempat saya bekerja sekarang berlokasi di Bandung. Dengan begitu, saya masih bisa tetap membantu teman-teman di SSG Cibeunying, saya masih bisa mengajar anak-anak jalanan, saya masih bisa lari pagi di SABUGA, masih bisa shalat Jum’at di Salman, masih bisa ke Daarut Tauhiid, dll. Meskipun, alokasi waktu untuk hal-hal tersebut akan berkurang. Semua itu cukup mengganggu pikiran saya dalam menimbang-nimbang pengambilan keputusan. Selain itu, rencana lainnya mudah-mudahan akan tetap berjalan sesuai keinginan.

Ketiga, Direktur perusahaan tempat saya bekerja sekarang ketika mewawancarai saya pernah mengatakan bahwa mereka akan mendorong karyawannya untuk berbisnis atau entrepreneur. Ini yang kemudian membuat saya cukup tertarik dan bersedia untuk bekerja di sana. Selain itu, di sana saya juga mendapatkan apa yang selama ini saya cari. Juga peluang lain yang mungkin akan berguna di masa yang akan datang. Termasuk peluang untuk ‘mengunjungi’ kota-kota yang belum pernah saya kunjungi, karena biasanya project yang digarap berada di luar kota. Oh, ya…satu lagi, suasana kekeluargaan di tempat kerja. 😉

Keempat, saya tetap berpeluang untuk memulai bisnis tanpa mengganggu pekerjaan di kantor. Salah satu yang sedang coba saya garap bersama seorang teman SMA adalah sebuah toko online. Kendalanya adalah saya dan Agus, teman tersebut, terpisah kota. Saya di Bandung, Agus di Bogor. Domain name sudah aktif, untuk hosting sementara menumpang di tempat blog ini. Jika toko online ini berhasil, baru kemudian menyewa hosting sendiri. Saat ini baru trial and error, mudah-mudahan bisa berhasil. Akan tetapi web site belum bisa di launching karena saya dan Agus masih harus mendiskusikan soal produk.  Selain itu ada juga tawaran sebuah project dari mantan dosen saya. Namun, hal ini masih dalam pertimbangan karena khawatir tidak bisa tergarap dan mengganggu pekerjaan sekarang.

Saya hanya berharap bahwa keputusan yang sudah diambil merupakan sebuah win-win solution. Orang tua bisa tenang, saya masih bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang saya suka, anak-anak jalanan masih bisa saya ajar, masih terlibat di SSG dan masih bisa nge-blog pastinya. :-p Disamping itu, saya juga banyak belajar tentang bagaimana ‘sebaiknya’ saya mengarahkan anak-anak saya nanti. Utamanya dalam hal pilih-memilih jalan hidup. Kecuali, tentu saja, saya tidak akan memberi peluang anak-anak saya untuk memilih agama selain Islam. Otoriter memang, tapi saya akan merasa menjadi orang tua yang gagal jika suatu saat anak saya murtad.

Memang ada yang saya korbankan, tapi saya tahu, orang tua saya pun sudah berkorban cukup banyak. Idealisme itu masih ada. Tertanam kuat di hati, mewujud tekad dan sudah tidak sabar untuk merealisasikannya dalam tindakan nyata.

Link Terkait dari Blogger lain:

C 1 H 3 U L 4 17 6. 080308. 07.30.

loading...
Exit mobile version